KOMISI SEKOLAH MINGGU
     Home
     => GSM
     Contact
     Guestbook



sekolah minggu gki sumut tj.rejo - GSM


Mari ......... bersama-sama kita turut ambil bagian dalam pelayanan khususnya Guru Sekolah Minggu.
Gereja yang kuat dan kokoh adalah Gereja yang mempersiapkan anak-anaknya sejak dini dalam Pelayanan dan Pemahaman Firman Tuhan.

Mari .......... Bapak, Ibu, Om, Tante, Abang dan Kakak kita bergabung dalam pelayanan sekolah minggu, Tuhan Yesus memberkati.  

Menjadi Guru Sekolah Minggu

Apakah anda menyadari bahwa semua orang di seluruh muka bumi ini, pada setiap zaman, dari lahir sampai matinya, terlibat dalam proses belajar mengajar? Proses belajar mengajar adalah proses seumur hidup, berawal dari kehidupan seorang bayi mungil yang belajar melalui orangtua dan lingkungannya, sampai menjadi seorang dewasa yang terus menerus menjalani proses pembentukan, baik melalui pendidikan formal (sekolah atau institusi pendidikan lainnya) maupun non formal (keluarga, masyarakat, lingkungan, dsb.).

Proses belajar mengajar ini juga dialami oleh Tuhan Yesus, meskipun Dia adalah Sang Guru Agung.

1. Tuhan Yesus: Guru Agung

Yesus lahir dalam sebuah keluarga Yahudi yang saleh, dimana dalam setiap keluarga Yahudi seorang anak diajar oleh orangtuanya mengenal Firman Tuhan (Ul 6:7-9).

Dalam masyarakat Yahudi, dimana ada 10 keluarga Yahudi, maka harus didirikan sebuah sinagoge, rumah untuk mengajar dan berbakti. Jika ada 25 orang anak, maka di situ harus ada 1 sekolah. Sebagai seorang anak laki-laki Yahudi, Yesus juga bersekolah di sinagoge di Nazaret. Bersama dengan anak-anak lain Dia belajar Kitab Suci. Pada usia 12 tahun Yesus sudah mampu bersoal-jawab dengan para Ahli Taurat di Bait Allah.

Pada usia 30 tahun, Yesus memulai pelayanan-Nya dengan mengajarkan Firman Tuhan dari satu tempat ke tempat lainnya. Tuhan Yesus lebih dikenal sebagai GURU daripada pengkotbah. Murid-murid-Nya dan orang- orang yang mendengar pengajaran-Nya memanggil-Nya GURU. Secara pribadi, Yesus pun mengakui diriNya sebagai GURU dan TUHAN (Yohanes 13:13).

Tuhan Yesus memulai pelayanan-Nya di dunia dengan memilih para murid untuk diajar, dan mengakhiri pelayanan-Nya dengan sebuah Amanat Agung: "Pergilah ... jadikanlah semua bangsa MURIDKU ... dan AJARlah mereka melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu." (Matius 28:20).

Dengan kata lain, Yesus yang adalah Guru Agung meminta kita, murid-murid-Nya untuk juga menjadi guru, meneruskan Firman Tuhan yang sudah kita terima dari-Nya dan membagikannya pada orang lain (termasuk pada anak-anak).

2. Kenalilah keduanya: "Alkitab dan Anak"!

Meski adalah kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anaknya, kita sebagai Guru Sekolah Minggu memiliki panggilan yang khusus dan serius untuk membawa anak-anak mengenal Kebenaran.

Tugas Guru Sekolah Minggu bukan sekedar melontarkan / memberikan Firman Tuhan kepada anak-anak, melainkan kita sendirilah yang harus "membawa" Firman Tuhan itu kepada mereka. Tidaklah cukup hanya memberi pelajaran, sebagai Guru Sekolah Minggu kita harus mau memberi DIRI kita sendiri.

Syarat yang paling penting untuk menjadi seorang Guru Sekolah Minggu BUKANLAH dengan memiliki pengetahuan yang luas, mempunyai ketrampilan mengajar yang menakjubkan, atau mempunyai kharisma memenangkan perhatian anak, MELAINKAN mengasihi Tuhan dengan segenap hati, DAN mengasihi anak-anak seperti diri kita sendiri (Ulangan 6:5). Mengasihi Tuhan berarti juga mengenal Firman-Nya, dan Firman inilah yang harus kita nyatakan pada anak-anak dari dalam hati kita, bukan hanya dari otak kita.

Mengasihi anak berarti kita terpanggil untuk menyampaikan Firman Tuhan pada anak-anak, meski dengan konsekuensi yang tidak gampang. Sebagai Guru Sekolah Minggu kita harus banyak memperlengkapi diri dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat menyelami dan memahami alam pikiran dan jiwa anak-anak.

Keyakinan bahwa Berita yang ingin kita sampaikan adalah Berita yang Sangat Penting, tentunya kita sebagai Guru Sekolah Minggu akan menyambut setiap langkah persiapan, latihan/training, seminar, dsb. sebagai kesempatan untuk memperlengkapi diri dalam panggilan kita sebagai Guru Sekolah Minggu.

3. Memutuskan untuk Menjadi Guru Sekolah Minggu

Sebenarnya ada banyak "daftar" bagaimana menjadi Guru Sekolah Minggu yang ideal.        Dr. Mary Go Setiawani, dalam bukunya yang berjudul Pembaruan Mengajar menyebutkan sedikitnya ada 8 syarat untuk menjadi Guru Sekolah Minggu, yaitu:

1.      Seorang yang telah lahir baru / diselamatkan.

2.      Seorang Kristen yang bertumbuh.

3.      Seorang Kristen yang setia terhadap gereja.

4.      Seorang yang memahami bahwa pelayanan pendidikan adalah panggilan Allah.

5.      Seorang yang suka pada objek yang dididiknya.

6.      Seorang yang baik dalam kesaksian hidupnya.

7.      Seorang yang telah menerima latihan dasar sebagai guru.

8.      Seorang yang melayani dengan bersandar pada kuasa Roh Kudus.

Sementara dalam buku Penuntun Sekolah Minggu disebutkan ada 5 sifat yang diperlukan oleh seorang Guru Sekolah Minggu, yaitu:

1.      Keyakinan dan Ketegasan

2.      Kesabaran

3.      Fantasi

4.      Cinta Kasih

5.      Mengenal dan mengajarkan Alkitab

Dan daftar di atas bisa saja bertambah panjang bila kita mau mengutip berbagai buku yang ditulis untuk para Guru Sekolah Minggu. Meski semua hal di atas penting untuk dimiliki seorang guru, janganlah hal tersebut justru akan "mengecilkan hati" atau malah "mematahkan semangat" para calon Guru Sekolah Minggu. Namun yang dibutuhkan sebenarnya adalah kerinduan seseorang untuk membagikan Kasih Yesus yang dimilikinya pada anak-anak. Sama seperti Petrus berkata kepada orang timpang di pintu gerbang: "Apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu." (Kisah Rasul 3:6), demikian pula seharusnya seorang calon Guru Sekolah Minggu memulai pelayanannya.

Dengan memberikan apa yang ada pada diri kita, apa yang kita miliki SEKARANG, itu sudah cukup untuk mengawali langkah menjadi seorang Guru Sekolah Minggu. Dengan berlalunya waktu, kita akan melihat bagaimana Tuhan Yesus, Sang Guru Agung akan memperlengkapi pelayanan kita dengan berbagai hal yang kita perlukan.

Memiliki banyak pengetahuan dan kemampuan memang baik, asal semuanya itu disertai kerendahan hati. Yang sungguh-sungguh dituntut dari seorang pengajar/guru Kristen adalah kekudusan dalam hidupnya sebagai orang Kristen.

Jika kita benar-benar berhasrat untuk membawa anak kepada Kristus, baiklah kita mulai dengan memberikan apa yang kita miliki saat ini. Tuhan memberkati dan menyertai Saudara!

Sumber:

·  Penuntun Sekolah Minggu, J. Reginald Hill, , halaman 10 - 17, Yayasan Komunikasi Bina Kasih.

·  Pembaruan Mengajar, Dr. Mary Go Setiawani, , halaman 7 - 9, Yayasan Kalam Hidup, Bandung.

·  Pedoman Pelayanan Anak 2, Ruth Lautfer & Anni Dyck, , halaman 115 - 117, Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, Malang, 1993.

  

Tips Mengajar

Pengkaderan Guru Sekolah Minggu

Tiap tahun selalu terjadi regenerasi di Sekolah Minggu, paling tidak, inilah yang dialami oleh anak Sekolah Minggu. Tiap tahun pasti ada anak yang naik ke kelas yang lebih tinggi, ada anak yang baru masuk, bahkan anak yang telah "lulus" dari Sekolah Minggu dan melanjutkan pembinaan rohani di gereja pada Kelas Remaja.

Di kalangan Guru Sekolah Minggu dapat pula terjadi regenerasi atau "turn-over", dimana guru baru datang, guru lama pergi, atau guru tiba-tiba berhenti mengajar karena alasan tertentu. Ada banyak faktor yang menjadi pemicu terjadinya perubahan di atas. Ada faktor yang bisa dikendalikan pihak Pembina Sekolah Minggu, ada pula yang tidak. Beberapa contoh faktor yang berada di luar kendali misalnya: karena guru yang bersangkutan akan melanjutkan studi atau pindah kerja di luar kota.

Pembina Sekolah Minggu perlu memikirkan dan mempersiapkan para Guru maupun Calon Guru demi kelangsungan serta kelancaran pelayanan di Sekolah Minggu dengan bertanggung jawab. Di sinilah perlunya perencanaan yang baik dalam Program Pengkaderan Guru.

1. Bagaimana mencari dan menemukan Calon Guru?

Sebelum mencari calon guru, langkah awal yang perlu dilakukan adalah melakukan pendataan jumlah Anak Sekolah Minggu, jumlah Guru, dan deskripsi singkat mengenai pengalaman mengajar masing-masing Guru. Misalnya: berapa jumlah guru yang dapat mengajar di kelas kecil, kelas besar, dst, berapa jumlah guru "senior" (dalam kuantitas maupun kualitasnya) dan berapa jumlah guru yang masih tergolong "pemula".

Selanjutnya perlu dipertimbangkan, berapa banyak anak dapat diajar secara efektif dan efisien oleh seorang guru. Pada umumnya, untuk 10-15 anak perlu ada 1 orang guru, tapi untuk anak kelas kecil 7-10 anak dibutuhkan 1 orang guru, sementara untuk anak kelas balita setiap 4-5 anak perlu didampingi 1 orang guru.

Setelah kebutuhan guru diketahui dengan jelas, barulah Pembina Sekolah Minggu mulai mencari calon guru di antara anggota jemaat gereja. Setidaknya ada 4 golongan yang dapat dipertimbangkan:

1.      Kaum muda (16-25 tahun)

2.      Kaum dewasa muda (25-33 tahun) atau telah berumah tangga

3.      Kaum dewasa madya (33-55 tahun) (biasanya anak keluarga ini telah memasuki usia remaja/pemuda)

4.      Kaum lansia (55 ke atas) (biasanya anak telah mandiri dan tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua)

Tentunya setiap golongan tersebut memiliki keunikan sendiri.

Kaum muda lebih mudah dan lebih cepat digerakkan untuk suatu tugas baru, dan umumnya memiliki semangat dan mobilitas yang tinggi. Tetapi, ada sedikit kendala bila mereka akan melanjutkan studi, kerja, atau menikah, apalagi bila hal tsb akan membawa mereka pindah ke kota lain.

Kaum dewasa muda biasanya termasuk golongan yang paling sulit diajak pelayanan. Umumnya waktu dan perhatian mereka banyak tersita untuk urusan pekerjaan (biasanya kaum pria) dan mengasuh anak (biasanya kaum wanita). Tetapi, jika mereka mau menerima pelayanan sebagai guru Sekolah Minggu, kualitas mereka sebagai seorang pengajar dan pendidik pada umumnya baik sekali.

Kaum dewasa dan lansia sebenarnya adalah calon guru yang baik, asal mereka masih mau mengerti dunia anak yang sangat berbeda dengan dunia mereka sendiri, demikian juga dengan masa kanak-kanak mereka puluhan tahun silam. Keuntungan mendapatkan guru dari kelompok umur ini adalah: biasanya mereka memiliki pribadi yang lebih matang dan mantap, dan biasanya pula mereka sudah tidak lagi akan berpeluang berpindah gereja atau kota lain. Umumnya mereka juga sudah "dikenal" dan "punya pengaruh" di kalangan jemaat, dan hal ini dapat memberi keuntungan bagi Sekolah Minggu dalam menjalankan program-programnya. Hanya saja, mungkin ada sedikit masalah bila orang-orang dari kelompok ini cenderung untuk "menggurui" mereka yang lebih muda.

Pendekatan yang dilakukan bisa dilakukan dalam berbagai cara, baik melalui pendekatan PRIBADI, dimana Pembina Sekolah Minggu mengajak calon guru tsb berbicara dari hati ke hati mengenai beban pelayanan anak, atau pendekatan KELOMPOK, misalnya melalui ceramah atau presentasi program pada masing-masing kelompok persekutuan (kaum muda, kaum wanita/bapak, kaum lansia, dsb).

2. Bagaimana merencanakan Program Pengakaderan Guru Baru?

Sebenarnya tidak ada pendekatan yang seragam mengenai hal ini. Tiap Sekolah Minggu biasanya memiliki kebijakannya sendiri mengenai bagaimana mempersiapkan calon guru/guru baru untuk mulai memasuki ladang pelayanannya.

Beberapa hal yang biasa dipratekkan adalah:

1.      Memberikan Kursus Dasar

Dimana para calon guru akan dibekali oleh visi dan misi mengenai pelayanan anak, berbagai pengetahuan dan ketrampilan dasar untuk mengajar anak (misalnya: diperkenalkan dengan berbagai metode / teknik mengajar, psikologi perkembangan, dsb).

 

2.      Memberikan kesempatan untuk observasi

Para calon guru diminta untuk mengikuti berbagai kelas Sekolah Minggu (sebagai peserta atau pengamat saja) dimana mereka belajar dari guru-guru lain bagaimana cara memimpin sebuah kelas. Pada akhirnya para calon guru tsb dengan dibimbing oleh Pembina Sekolah Minggu akan menentukan kelas mana yang tepat bagi dirinya.

 

3.      Dilibatkan bersama dengan guru senior

Di sini para calon guru langsung praktek mengajar bersama (atau lebih tepat disebut: sebagai asisten) guru senior. Mereka belajar dari rekan yang lebih senior dan mengajar anak pada saat yang bersamaan.

 

 

4.      Dilatih dalam Kelas Laboratori

Dalam hal ini calon guru dilatih dengan menggunakan Kelas Laboratori, dimana mereka berlatih/praktek mengajar di hadapan rekan-rekan guru dan bukan langsung dengan anak. Melalui kelas latihan ini, mereka dipersiapkan untuk nantinya dapat terjun mengajar anak dengan lebih siap diri. Pembahasan lebih lanjut mengenai Kelas Laboratori akan dibahas dalam kolom Serba Serbi.

 

Program Pengkaderan Guru mutlak diterapkan oleh Sekolah Minggu yang mau bertumbuh dan berkembang. Program ini juga harus berdampingan dengan program pembinaan guru, sehingga tidak hanya para calon guru yang perlu mendapat pelatihan dan persiapan, para guru senior pun harus disegarkan kembali, harus terus dibina dan dikembangkan potensi serta keahliannya dalam melayani anak-anak.

 

Sumber:

Pedoman Pelayanan Anak 2, Ruth Lautfer & Anni Dyck, , halaman 126 - 131,

Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, Malang, 1993.

 

 

 

Serba Serbi

Sekolah Laboratori

Sekolah Laboratori adalah suatu kegiatan belajar mengajar untuk melatih para pengajar/guru agar memberi hasil maksimal TANPA berinteraksi langsung dengan murid yang akan diajar. Dengan kata lain, Sekolah Laboratori ini adalah semacam kelas pelatihan/praktek bagi para calon guru dimana mereka berlatih mengajar dengan menggunakan sesama calon guru sebagai murid mereka.

Untuk mengadakan Sekolah Laboratori dibutuhkan Pembimbing yang trampil mengajar (yang dapat dijadikan teladan dalam hal pengajarannya).

Pelaksaan Sekolah Laboratori adalah sebagai berikut:

1. Tahap Pertama: Tugas Observasi

Para calon guru diminta untuk ikut masuk dalam kelas Sekolah Minggu tertentu dan mendapat tugas melakukan observasi terhadap guru yang mengajar di kelas tersebut serta mencatat hasil pengamatannya. Kehadiran mereka di kelas hanya sebagai pengamat, dan tidak boleh berinteraksi dengan siapa pun (baik guru, murid, maupun sesama rekan calon guru) selama proses belajar mengajar berlangsung.

Seusai kelas, para calon guru berkumpul bersama dengan didampingi Pembimbing untuk melakukan evaluasi terhadap jalannya pengajaran yang baru saja mereka amati.

Hal ini mereka ulangi selama beberapa kali dengan memasuki berbagai kelas yang berbeda. Sehingga melaluinya, para calon guru punya bayangan bagaimana cara mengajar di berbagai kelas dengan tingkatan usia yang berbeda.

2. Tahap Kedua: Persiapan Mengajar

Para calon guru dibagi menjadi beberapa kelompok, dimana setiap kelompok memiliki beberapa anggota (misal ada 4 kelompok dengan jumlah anggota masing-masing 6 orang).

Tiap kelompok dengan didampingi seorang pembimbing berusaha membuat 1 bahan pelajaran secara utuh, mulai dari pujian, ayat hafalan, materi Firman Tuhan hingga aktivitasnya. Lalu mereka juga berbagi tugas di antara mereka siapa yang akan memimpin pujian, menyampaikan Firman Tuhan, memimpin aktivitas, dsb.

Sesudah masing-masing anggota mempersiapkan diri, Pembimbing melatih mereka sesuai dengan rencana pelajaran yang telah disiapkan dalam kelompok masing-masing. Jadi, masing-masing kelompok saling tidak mengetahui persiapan kelompok lainnya.

3. Tahap Ketiga: Praktek Mengajar

Tibalah waktunya para calon guru mulai praktek mengajar. Sebelum mulai, ruangan telah disiapkan seperti kondisi kelas yang sesungguhnya, semua alat peraga dan alat bantu lainnya disediakan pada tempatnya, dan kursi-kursi telah siap diduduki oleh para murid. Bedanya adalah: para murid di Sekolah Laboratori adalah para calon guru, dan bukan murid yang sesungguhnya akan diajar (anak-anak sekolah minggu).

Tiap kelompok diminta untuk tampil mempraktekkan hasil persiapan mereka dan "para murid" (yang adalah sesama calon guru) akan memberikan evaluasi atas jalannya proses belajar mengajar.

Pada akhir kegiatan, Pembimbing akan memimpin evaluasi bersama dan memberi kesempatan pada masing-masing peserta untuk berbicara. Dengan demikian setiap calon guru mendapat kesempatan untuk melatih diri sekaligus memberikan masukan bagi sesama rekannya.

Kesimpulan

Sekolah Laboratori memberi pengalaman berharga dan dapat menambah semangat serta keyakinan kepada para calon guru. Dengan mencoba praktek mengajar, mereka akan lebih percaya diri dan berani mengajar di hadapan murid-murid yang sesungguhnya.

Sekolah Laboratori memberi kesempatan yang baik untuk dapat saling belajar dan mengajar bersama rekan lain, memberi serta menerima evaluasi dalam suasana rohani yang terbuka, yang diharapkan akan dapat menunjang dan saling menguatkan para pesertanya.

Sumber:

Pedoman Pelayanan Anak 2, Ruth Lautfer & Anni Dyck, , halaman 132 - 139,

Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, Malang, 1993.

 

  

Syalom,

 

Salam sejahtera dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus….

 

Kalau saya melihat sebenarnya di jemaat kita banyak yang potensial menjadi GSM, tetapi tidak ada minat untuk menjadi GSM.

Dalam persekutuan jemaat (Komisi Wanita, Komisi Pria, PA Keluarga, dll) saya melihat sebagian besar jemaat memiliki potensi yang besar untuk menjadi GSM. Dasar saya mengatakan hal ini adalah bila dalam PA ada forum diskusi, banyak anggota yang antusias bahkan terlibat aktif dalam diskusi tersebut, bahkan mereka mempunyai persiapan yang baik dan menguasai bahan diskusi. Moderator PA juga sebagian besar dari jemaat, dalam memandu diskusi juga cukup bagus dan menguasai materi bahan diskusi, kalau saja jemaat bisa melayani (berkhotbah) pada Kebaktian Minggu, mungkin banyak dari jemaat yang mau dan mampu melayani.

 

Masalahnya mengapa dari sekian banyak jemaat (yang mempunyai potensi melayani) tidak ada yang tergerak (mau) melayani di sekolah minggu? Cenderung lebih memilih terlibat dalam komunitas (yang dianggap) lebih dewasa seperti PA, Persekutuan-persekutuan, khotbah, dll.

Ataukah Sekolah Minggu tidak mempunyai prestise dalam pelayanan?

 

Hal ini merupakan suatu tantangan khususnya bagi Komisi Sekolah Minggu untuk memberikan pencerahan kepada seluruh jemaat, komisi-komisi, tentang pelayanan anak-anak di sekolah minggu yang tak kalah penting dengan pelayanan lainnya di lingkungan Gereja.

Inti dari pencerahan tersebut bukan berarti menjadikan jemaat sebagai GSM tetapi lebih menitik beratkan kepada :

1.   Pentingnya Pelayanan Sekolah Minggu (sama pentingnya dengan pelayanan yang lainnya)

2.   Setiap Jemaat Sidi Dewasa wajib ambil bagian dalam suatu Pelayanan Gerejawi

3.   Lebih penting menyiapkan generasi yang kuat (Iman, mental, pengetahuan) dari pada membangun Gereja yang besar tetapi tidak ada regenerasi. Gereja yang besar adalah Gereja yang telah mempersiapkan pelayanan pengajaran mulai dari anak-anak sampai jemaat dewasa.

4.   Tuhan Yesus lebih menitik beratkan pengajaran sehingga Dia menjadi Guru Agung bagi kita semua

5.   Memberikan evaluasi yang riil tentang keberadaan sekolah minggu itu sendiri dalam suatu Gereja.

 

Akhir kata semoga tulisan saya bermanfaat bagi saudara/I, selamat melayani…. Tuhan Yesus memberkati.

 

Mujiono

http://sekolahminggugkisumuttjrejo.blogspot.com

http://mujiono.tripod.com/

    

 

Today, there have been 1 visitors (1 hits) on this page!

"Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga."
MUJIONO This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free